Filsafat
Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh
Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang
dibawakan Yasadipura adalah " Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara
Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing
Karaton Surakarta Hadiningrat ". Dalam makalah itu dikemukakan oleh
Yasadipura ( 1992 : 9 - 10 ) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat
hidup ) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan
tembang kinanthi, sebagai berikut.
Nora kurang wulang
wuruk
tak kurang piwulang dan
ajaran
Tumrape wong tanah
Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune
ngagesang
perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem
anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara
Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang
sejati
itu guru yang sejati
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga
unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya (
dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan
segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan
kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup (
makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok "
tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan
keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat,
meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
![]() |
Serat Wulang Sunu
Karya : PakuBuwono IV
Latar belakang dan tujuan ditulisnya Serat Wulang Sunu
Pada abad 18-19 M, kondisi politik kerajaan
Surakarta dalam penjajahan bangsa Eropa, Paku Buwana IV telah beberapa kali
berusaha mengusir penjajah tersebut. Akibat dari penjajahan bangsa Eropa telah
membuat rakyat Surakarta menjadi sengsara baik lahir maupun bathin. Suasana
kehidupan semakin berat dan sulit, tidak ada kegembiraan kerena kesusahan yang
tiada akhir. Pihak istana yang diharapkan sebagai perlindungan rakyat
Surakarta, sudah tidak mampu lagi kerena kekuasaannya telah dirampas oleh
penjajah, untuk itulah Paku Buwana IV dan para pujangga lainya mencoba
mengalihkan kegiatan istana kepada kerohanian. Hal tersebut mempunyai maksud untuk
memberikan pengajaran atau panutan kepada rakyat Surakarta khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
Untuk mengembalikan atau membuat suasana tentram, damai dan makmur rakyat
Surakarta, maka Paku Buwana IV mencoba menulis nasehat-nasehat dalam bentuk
karya sastra, diantaranya adalah Serat Wulang Sunu. Dengan karya sastra
tersebut Paku Buwana IV berharap kepada rakyat Surakarta mempunyai pegangan
hidup di dunia ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari dalam kaitannya
mencari ilmu, etika, terhadap guru, terhadap orang tua dan sesama manusia.
Dalam hal menyembah kepada Allah juga sangat ditekankan oleh Paku Buwana
IV, beberapa hal tersebut merupakan ajaran pokok Paku Buwana IV dalam rangka
menciptakan perikehidupan masyarakat Jawa yang damai dan tentram tidak melanggar
aturan dan larangan sehingga nantinya akan selamat baik di dunia maupun di
akherat yang menjadi tujuan bagi seluruh umat manusia.
P u p u h I
a)
Wulang sunu kang
kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma
padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng
tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe
matine nraka.
b)
Mapan sira mangke
anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring
rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro
tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.
c)
Nora eco dahar
lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang
wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis
singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.
d)
Dhaharira mangke
pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang
komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku,
cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang.
e)
Duk sira ngumur
sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan
ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora
ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira
niaya.
f)
Lamun sira mangke
anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira, ingukum dening Hyang Manon, tembe yen
lamun lampus, datan wurung pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget
siksanipun, mulane wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe
lakonano.
g)
Parandene mangke
sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok balawanan ucape, sumahir bali
mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik temahira, donya keratipun, tan wurung
kasurang-kasurang, tembe mati sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.
h)
Yen wong anom
ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira, den wulang ibu ramane, asilo
anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti, lungo teko anembah iku budi luhung, serta
bekti ing sukma, hiyo iku kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.
i)
Kang wus kaprah
nonoman samangke, anggulang polah, malang sumirang, ngisisaken ing wisese,
andadar polah dlurung, mutingkrang polah mutingkring, matengkus polah tingkrak,
kantara raganipun, lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit,
ngorekken wong kathah.
j)
Poma aja na
nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung weleh polahe, kasuluh
solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune ingeseman ing sasaminipun,
mulaneta awakingwang, poma aja na polah kang silip, samya brongta ing lampah.
k)
Lawan malih wekas
ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira tinggal bote, murwaten lan
ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek kuwawa, lamun siro luhur, den prawira
anggepiro, dipun sabar jatmiko alus ing budi, iku lampah utama.
l)
Pramilane nonoman
puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang becik pituture, tan sira
temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire tatakromo, bathine bekti mring
tuhu, mula eta wekasing wong, sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta
lampah.
Terjemahan Pupuh I :
a)
Wulang sunu yang
dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang
tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak
mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya
dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.
b)
Bila nanti kamu
melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya
berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan
baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan
menderita memelihara kamu.
c)
Tidak enak makan
dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya makan nasi garam walaupun hanya
untuk membasahi kerongkongan , makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi
dan mencuci di sungai dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika
kecil untuk itu rasakanlah hal itu.
d)
Keadaan pahit getir
ibumu memelihara kamu dia tidur hanya sambilan meskipun penuh dengan air seni
terkena tinja dilakukannya bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku,
dibersihkan oleh ibumu dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu
lapar disuapi.
e)
Ketika kamu
berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa merangkak pekerjaan ibumu hanya
menjagamu walau hanya memakai kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih
kecil, bila kamu kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah
dewasa, tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya.
f)
Bila kamu nanti
berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui,
besok kalau mati niscaya akan kembali bersama api, kalau orang senang durhaka,
siksanya sangat berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku,
lakukan perintah keduanya.
g)
Adapun kamu nanti,
bila dididik ibu bapak ucapanmu sering berlawanan menyahut lalu berpaling,
cegahlah itu anakku, tidak baik pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia,
besok kalau mati dimusuhi Tuhan, disiksa oleh Malaikat.
h)
Sedangkan anak
muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik ibi bapaknya, duduk bersila
dihadapannya, orang tuanya bagaikan Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah
budi yang luhur serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang
menciptakan mati dan hidup serta pemberi sandang dan pangan.
i)
Yang sudah kaprah
bagi anak muda, bertingkah malang melintang memanjakan diri, bertingkah yang
keterlaluan duduk seenaknya dan tak tahu kesopanan, berlaku congkak, senang
memperlihatkan badannya, kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh
menjingkat dan selalu membuat onar orang banyak.
j)
Ingat-ingat jangan
ada yang melakukan, segala tingkah yang salah, tingkahnya pasti akan terkuak
(diketahui orang banyak), ia akan tersuluh dan tidak kuat menyandangnya,
seolah-olah semua orang hanya melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah
jangan ada yang berbuat salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.
k)
Ada lagi nasehatku
anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan sampai memberatkan diri, jagalah
badanmu, bila derajatmu kecil, jangan merasa pesimis, bila kamu menjadi orang
luhur, tegakkanlah pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah
perbuatan yang utama.
l)
Maka dari itu kaum
muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan orang tua, perhatikanlah petunjuknya
yang baik, dari lahir sampai batin, lahir dengan tatakrama, batinnya dengan
berbakti kepadanya, itulah nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu
tidak mengalami kesusahan.
P U P U H II
1)
Pupuh II ini
terdiri dari 22 bait, selengkapnya penulis sampaikan sebagai berikut :
2)
Lawan malih wekas
mami, anak putu butut ingwang, miwah canggih wareng ingwang, poma padha
estokna, ing pitutur kang arja, aja ana wong tukar padu, amungsuh lawan sudara.
3)
Dhahat ingsun tan
nglilami, sujatma ahli dursila, cewengan lan sudarane, temahan tan manggeh arja
lan tipis kang sarira, wong liyan kathah kan purun, mejanani mring sira.
4)
Mokal sira tan
miyarsa, kang kocap sujana kathah, gecul mgrumpul bandhol ngrompol, nanging aja
kalirua, babasan kaya ika, den waskitheng surupipun, babasan kaya mangkana.
5)
Dipun kumpul sira
sami, aja gecul tekadira, dipun ngrompol ala bandhol, poma iku estokna, yen
sira nedya arja, aja ma kawongan pocung, anom kumpul tuwo pisah.
6)
Yen kayaa pocung
ugi, salawsiro neng donya, dadi wong pidhangan bae, dudu watek wong sujana,
salawasira neng donya, lamun sujalma kang surup, nom kumpul tuwa tan pisah.
7)
Poma den astiti,
pitutur ing layang iki, poma aja na maido, lamun sira maidoa, lan mara ayonana,
dumeh tutur tanpa dhapur, tinarik tan manggih arja.
8)
Yen sira karsa
ngayeni, pitutur ing layang iki, anuli solahe age, mungsuhe lawan sudara, nuli
pisaha wisma, samangsane sira luput, kalawan sujalma liyan.
9)
Pasti sira den
ayoni, den ira sujalma liyan, sadulur wis tega kabeh, sanajan silih kataha,
kadhang mangsa belas, sajege sira tan atut, lawan sanak kadhangira.
10)
Pan ana saloka
maning, poma padha estokna, surasane, ujaring ngong, rusak sana den karesa,
mangkana tuturing wang, wonten sima tukar padu, amungsuh kalawan wana.
11)
Mangkana sang sima
angling, heh wana sira kapurba, denira kuwasaning ngong, yen aja na kuwating
wang, pasti sira binabat, denira sujalma agung, temah sira lebur sirna.
12)
Kang wana nyahuri
bengis, apa ta samono ugo, yen aja na kuwating ngong, amasti sira meneka, den
risak jalma kathah, kiniter winaos lampuh, samana diya-diniya.
13)
Sang sima lawan
manadri, anulya talak tinalak, samya arengat manhe, samana sang sima kesah
medal sing wana wasa, anjog wiring dhusun, anglela ing ara-ara
14)
Yata ganti kang
winarni, wonten laren ngon maesa, saksana anulya anon, yen wonten sima punika,
anglela ngara-ara, cangkelak anuli wangsul, apa jarwang tuwanira.
15)
Kaget ingkang
awawarti, anulya samya wawarta, ing prapat monca limane, pan samya nabuh
gendhala, rame poman dedesan, suwanten lumyang gumuruh, pan samya sikep
gegaman.
16)
Wusraket sikeping
jurit, tumulyan sigra amedal wus prapteng jawi desane, wus prapto ing
ingara-ara, sima sigra kinepung, kecandhak winaos sampun, yata ganti kawarnaha.
17)
Kocapa ingkang
wanadri, tet kala wahu tinilar, dhumateng sima lampahe, yata wonten kawarnaha,
jalma samya kawawanan, arsa badhe karsanipun, ngupados babahing tegal.
18)
Wus prapta dhateng
wanadri, kang wana nuli sinuksma, suwung tan ana simane, tumulya sigra binabat,
dhening sujalma kathah, wus garing nulya tinunu, wana lebur sirna ilang.
19)
Nuli tinanduran
sami, pari kapas miwah jarak, kacang dhele lombok terong, wus ilang labething
wana, genggeng ponang tanduran, lama-lama dadi dhukuh, wus ilang labething
wana.
20)
Pan iku saloma
mami, anak putu buyut ingwang, miwah canggah warenging ngong, puniku apan
upama, tapa badan prayoga, lamun sira karem padu, amungsuh lawan sudara
21)
Benal ngammi wal
ngamati, wa bena jho jhi wa jho jhit puniku nenggih tegese, kawasa tan kawasaa,
wajib sira asiha, dhumateng sudara kakung, muwah sadulur wanodya
22)
Poma-poma wekas
mami, anak putu buyut ingwang, aja katungkul uripe, aja lawas saya lawas, lawan
den saya lawas, siyang dalu dipun imut, wong anom sedya utama.
Terjemahan PUPUH II :
1)
Ada lagi nasehatku
anak cucu cicitku, serta canggah (anak cicit) dan wareng (cucunya cicit) ku,
supaya memperhatikan petunjuk menuju selamat. Jangan ada yang bertengkar,
bermusuhan dengan saudara
2)
Aku juga tidak
merestui, manusia yang melanggar kesusilaan, bertengkar dengan saudaranya,
akhirnya tidak akan menemui keselamatan, tetapi apabila kamu suka membantu
banyak orang yang senang menjalin hubungan denganmu.
3)
Mustahil kalau
kamu tidak mendengar yang diucapkan oleh orang banyak, penjahat berkumpul
dengan penjahat, agar dirimu tidak keliru, seperti peribahasa tadi,
perhatikanlah bagaimana akhirnya, demikian itu peribahasanya.
4)
Bila kamu
berkumpul, janganlah berniat jahat, berkumpul janganlah berbuat jahat,
perhatikanlah itu bila ingin selamat, jangan ada orang seperti pocung, waktu
mudanya berkumpul setelah tua berpisah.
5)
Bila seperti
pocung juga, selamanya kamu didunia hanya menjadi hinaan orang, itu bukan watak
orang yang baik selama hidup di dunia, sedang orang yang baik adalah waktu muda
berkumpul sampai tua tidak berpisah.
6)
Agar diperhatikan
petunjuk dalam serat ini jangan ada yang membantah, bila kamu membantah cepat
datang dan lakukan, jangan dikira petunjuk tanpa dasar, digunakan tidak
bermanfaat.
7)
Bila kamu
membentah petunjuk dalam serat ini, cepatlah berbuat, bermusuhlah dengan
saudara, lalau berpisahlah dengan rumahnya, sewaktu-waktu kamu berbuat salah,
terhadap orang lain.
8)
Bila kamu lakukan
juga saudaramu kau anggap orang lain, saudaramu juga ikhlas semua, meski telah
banyak berkorban, saudaramu tidak akan membela, selama kamu tidak pantas,
tinggal bersama sanak saudaramu.
9)
Dan ada seloka
lagi, agar diperhatikan, isi dari perkataanku, rusaknya karena kehendaknya,
begini petunjukku, ada harimau bertengkar bermusuhan dengan hutan.
10)
Harimau berkata
begini, hai hutan, dari dulu kamu ada dalam kekuasaanku, kalau tidak ada
kekuatanku, kamu pasti sudah terbabat oleh kekuatan manusia, akhirnya kamu
hilang lebur.
11)
Hutan menyahut
dengan kasar, begitu juga kamu, kalau tidak ada kekuatanku, meskipun kamu
memanjat, akan diburu oleh orang banyak dan ditangkap sampai mati, begitulah
mereka saling menghina.
12)
Harimau dan hutan
kemudian saling bertengkar, hatinya sama-sama terbakar, seketika harimau pergi
keluar dari hutan belantara sesampainya dibatas perkampungan tiduran di tanah
lapang.
13)
Kemudian berganti
yang dibicarakan, ada seseorang anak menggembala kerbau, tiba-tiba ia melihat
ada seekor harimau sedang tiduran di tanah lapang, kemudian anak tersebut
pulang secepatnya, menceritakan kepada orang tuanya.
14)
Semua orang yang
diberitahu terkejut, semua orang kemudian diberitahu, disetiap perempatan orang
menabuh kentongan, keadaan desa menjadi ramai, terdengarlah suara gemuruh,
semua orang telah siap menjadi senjata.
15)
Setelah diatur
seperti prajurit, mereka segera keluar mereka sudah sampai diluar desanya,
sesampainya di tanah lapang, harimau segera dikepung, tertangkap sudah
sekarang, kemudian berganti keadaannya.
16)
Sementara itu
hutan yang tadi ditinggalkan oleh harimau sudah berganti, banyak manusia
mencari ladang yang luas.
17)
Sesampainya di
hutan, hutan tersebut diperhatikan kosong tidak ada harimaunya, kemudian segera
ditebang oleh orang banyak, setelah kering tanahnya dioleh hutan telah
kehilangan dirinya.
18)
Kemudian secara
bersama-sama mereka tanami, padi kapas dan jarak, kacang kedele dan terong,
lama-lama menjadi kampung, hutan telah kehilangan dirinya.
19)
Demikian selokaku,
anak cucu cicitku, serta canggah dan warengku, itu tadi adalah sebuah
perumpamaan, menyepikan diri itu lebih baik, bila kamu senang bertengkar, bermusuhan
dengan saudara.
20)
Dan telah
terungkap dalam dalil, perintah dari Tuhan Yang Maha Hidup, yang diturunkan
kepada Rasul, yang terucap dalam khutbah, beginilah perintahnya, la budda an
tuhibbahu bainal ikhwat wal akhwat.
21)
Bainal ‘ammi wal
‘ammati wabainaz zauji waz zaujati, maksudnya adalah mau tidak mau kamu wajib
mengasihi terhadap saudara laki-laki serta saudara perempuan.
22)
Jangan lupa
nasehatku, anak cucu cicitku hidupmu jangan sampai terbius, jangan semakin lama
semakin terlena, sertailah dengan kewaspadaan, siang malam harus diingat, anak
muda hendaknya mempunyai niat yang utama.
![]() |
P A
N G K U R
Jangka Kagem Tanah Jawi
Sekar Pangkur Ginupita
Wonten Resi Saking Ngatas Angin
Ngejawa Njujug Ing Gunung
Ing Kendheng Tanah Ngayogja
Asung Weca Yen Hardi Merapi Njebluk
Mbenjang Pecah Hardi Sigar
Dadi Kali Tanggung Nami
Ngayogja Lawan Sala
Mbenjang Pecah Datan Anunggil Siti
Sinelanan Kali Tanggung
I L I N E P O N A N G T I R T A
Langkung Banter Anjoging Seganten Kidul
Para Dhemit Kagegeran
Wadyana Sang Ratu Dewi
Njeng Ratu Kidul Punika
Para Dhemit Mbenjang Ndarat Wor Jalmi
Sarengan Lindhu Ping Pitu
Obahing Bumi Pra Tinepa
Gara – Gara Gonjang – Ganjing Gumuruh
Gunung Kendheng Larag Gempal
Udan Awu Miwah Krikil
Cleret Tahun Nggegranjang
Kilat Thathit Kekuwung Lan Obar – Abir
Surakarta Pindhahipun
Tan Kenging Yen Dinuwa
Papan Iku Wus Kersaning Hyang Agung
Yeku Nagri Surakarta
Keratonipun Mbenjanng Ngalih
Kacarita Wetan Bengnawan
Ing Wana Ketangga Manggih Mukti
Mangsuli Riwayat Wau
Longsor Pecahing Arga
Ingkang Tirta Amalih Wor Lan Endhut
Lan Rawa Pening Mbarawa
Mubal Geni Keh Jalma Mati
Sinareng Ing Tanah Jawa
Nuli Wonten Pernyakit Ndatengi
Lamine Hari Wulan Puniku
Satanah Jawa Warata
Para Kawula Sami Nggiris Manahipun
Ketaman Benduning Hyang
Nyarengi Mangsa Paceklik
Jumenengira Narendra
Kalamercu Candrane Sri Nara Pati
Kala Sesa Patihipun
Nglamat Praja Rengka
Nagri Pindah Kathah Bot Repotipun
Kawula Saya Ndadra
Ing Pakarti Kang Tanjuti
Kawastanan Jaman Edan
Kathah Jalma Nglampahi Sungsang Balik
Kataman Ing Kala Bendu
Para Hambek Sarjana Katur Kasingkur
Hardaning Angkara Murka
Mustaka Candhaning Ati
Wong Agung Remen Mbebahak
Marang Raja Hartane Wong Cilik
Ilang Tabeting Budi Ayu
Kesruh Handeling Praja
Para Kawula Sami Nandhang Pakewuh
Wuwuh – Wuwuh Tanpa Mendha
Pinuju Pajeg Mas Picis
Kathah Salahing Kawula
Kekumpul Lan Arsa Ngupaya Budi
Nanging Ta Ketawar – Tawur
Tinalen Ing Pepacak
Dening Praja Ingkang Ngasta Hukum
Kang Tan Welas Mring Kawula
Ratu Nangkoda Mbekjuti
P U N I K A P I N A N G K A N I R A
Nanging Wurti Badhe Timbul Malih
Angsal Pitulunganing Hayang Agung
Wangsul Wahyu Nurbuat
Tanah Jawi Pulih Kadi Duk Rumuhun
Majapahit Dukung Kuna
Nagri Mandhiri Pribadi
Gemah Ripah Kerta Raharja
Tata Tentrem Ing Salami – Lami
Ilang Kang Samya Laku Dur
Murah Sandhang Lan Boga
Kang Amengku Asih Mring Kawulanipun
Lumintu Salire Dana
Sahasta Pajek Saripis
Siti Sajung Mung Sareyal
Tanpa Uba Rampe Sanese Malih
Antinen Wae Meh Rawuh
Mulyaning Tanah Jawa
Awit Saking Tan Keregon Liyanipun
Nakoda Wus Datan Kuwasa
Pulih Asal Mung Gegrami
KAWRUH
BASA
Istila-istilah dalam Sastra Jawa
Babad :
Sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa, digunakaan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah [Jawa/Sunda], hikayat, silsilah, sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia
Bebasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan.
Gancaran :
Wacana berbentuk prosa.
Gatra :
Satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
Gatra purwaka :
Bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
Guru gatra :
Aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang macapat].
Guru lagu :
[disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
Guru wilangan :
Aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
Janturan :
Kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan.
Japa mantra :
Mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
Kagunan basa :
Penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan, bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
Kakawin:
Puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsur pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek [guru dan laghu].
Kidung :
Puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum.
Macapat :
Puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan; secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,
yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa.
Manggala :
" Kata pengantar " yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta-meskipun tak selalu ada--penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
pada: bait
Parikan :
Puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun [Melayu].
Parikan lamba :
Parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
Parikan rangkep:
Parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
Pepali :
Kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
Pupuh :
Bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
panambang: sufiks/akhiran
Panwacara :
Satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
Paribasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Pegon :
Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
Pujangga :
Orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
Saloka :
Ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
Saptawara :
Satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo), Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
Sasmitaning tembang :
Isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya.
Sastra gagrak anyar :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
Sastra gagrak lawas :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti--terutama--pembaitan secara ketat.
Sastra wulang :
Jenis sastra yang berisi ajaran, terutama moral.
Sengkalan :
Kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional.
Singir :
Syair dalam tradisi sastra Jawa.
Sot :
Kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
Suluk :
[1] jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang bersumberpada ajaran Islam;
[2] wacana yang 'dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan 'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan.
Supata :
Kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah.
Tembung entar :
Kata kiasan, misalnya kuping wajan.
Wangsit :
Disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
Wayang purwa :
Cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
Weca :
Kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang.
Wirid :
Jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.
PUNAKAWAN
Punakawan adalah karakter
yang khas dalam wayang Indonesia. Mereka melambangkan orang kebanyakan.
Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para
ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan
kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Semar, Gareng,
Bagong, dan Petruk. Dalam wayang Bali karakter punakawan terdiri atas Malen dan
Merdah (abdi dari Pandawa) dan Delem dan Sangut (abdi dari Kurawa)
Semar adalah pengasuh
dari Pendawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Meskipun ia berwujud
manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para
dewa.
Gareng adalah anak Semar
yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah seorang
yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah.
Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan. Ia pernah menjadi raja di
Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia diangkat sebagi raja atas nama Dewi
Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.
Bagong berarti bayangan
Semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda pada Semar bahwa
bayangannyalah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga bayangannya
berubah wujud menjadi Bagong. Bagong itu memiliki sifat lancang dan suka
berlagak bodoh. Ia juga sangat lucu.
Petruk anak Semar yang
bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda berbicara, dan juga
sangat lucu. Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan
lawakan-lawakannya. Petruk pernah menjadi raja di negeri Ngrancang
Kencana dan bernama Helgeduelbek. Dikisahkan ia melarikan ajimat Kalimasada.
Tak ada yang dapat mengalahkannya selain Gareng
S
E M A R
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani
sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan
manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena
harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan
perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya :
"Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha
Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total
dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel /
(karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung"
(jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning
sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa
pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia
perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq )
yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah
(untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan
kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah
sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan
konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang
Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata
dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan
symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi,
persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual
. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa
sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas
,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh
kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau
konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar
(pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring
dur-kamurkan Mardika artinya "merdekanya
jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu
dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa.
Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora
samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi
pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa
nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".
Filsafat
Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa
Semar dalam pewayangan adalah punakawan " Abdi " Pamomong " yang
paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang
simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi
Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal
dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa
asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun
berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar
adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah
" menjelma " ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para
Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja
Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang
pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang
bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir
dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing
pamrih, rame ing ngawe " sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu
hayuning bawana " menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno
1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 )
berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar " cahaya
". jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya,
sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang
didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat
Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai
segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat
Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 - Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu,
Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk
kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan
badranaya yang berarti " pimpinan rahmani " yakni pimpinan yang penuh
dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa
eling " rasa ingat " ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang
Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu
sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma (
Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala
kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam
pementasan wayang disuguhkan lakon " Semar Mbabar Jati Diri ".
gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang
mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995.
Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah
dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo
1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut.
Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita,
Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono (
Cermomanggolo 1995 : 5 - Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 )
bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon " Semar Mbabar Jadi Diri
" diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan
paraning dumadi " ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat
aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning
dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran
Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna
sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah
keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang
berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam
Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah
apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut
bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
KAKANG SEMAR LAN ANTAGA KAKI
WECAN TUNJUNG SETA
TUMEKA KAKI SEMAR
GINUBAH DENING : PANEMBAHAN PRAMANA SETA ING
GIRIMAYA
dandang
gulo
1. INGSUN MELING
MRING SIRA KALIHNYA
KANG DADYA SESENGGEMANE
NGIRIDA GUNG LELEMBUT
BALA SILUMAN NUSA JAWI
KABYANTOKNA SANG NATA
H E R U C A K R A P R A B U
NATA TEDHAKING BARATA
WIJILIRA ING KETANGGA SONYARURI
SAJRONING ALAS PUDHAK
2. DUK
TIMURNYA BABARAN SURANDHIL
INGKANG IBU TEDHAKING MATARAM
KANG RAMA TRAHING RASULE
G I N A I P M I Y O S I P U N
SANG TUNJUNG SETA JEJULUK NEKI
DUK SIH KINEKER MARANG HYANG
KESAMPAR KESANDUNG
JALMA SAMYA KATAMBUHAN
TAN WIKAN MRING PUDHAK SINUMPET SINANDI
DEWA MANGEJAWANTAH
Paradoks
Semar
PARA pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi
dengan tokoh Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan
anak-anaknya selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya
Arjuna atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik
etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola
pikir yang mendasarinya.
Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang
berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru
menguasai kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan
manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul
bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak
(suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit
dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan
pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa
Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua
dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang
terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek
rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan
lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di
dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa
keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar
sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja,
Semar adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan
sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering
mengendaikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan - kebijaksanaan.
Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa
wangsalan (sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan
tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan
majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan
raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru
selalu hidup di lingkungan yang "wangi", sedang Semar suka kentut
sembarangan. Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling
rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah
wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan
Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih "tua"? Jawabannya
terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa,
mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain
wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab, bahwa
warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk menyamarkan
yang sejatinya "ada" itu "tidak ada", sedangkan yang
"tidak ada" diterka "bukan", yang "bukan" diterka
"ya".
Dengan demikian Batara Semar lebih "tua" dari
adiknya Batara Guru. Semar itu "kakak" dan Batara Guru itu
"adik", suatu pasangan kembar yang paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri,
ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut
sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya
Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap lakon
wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para penggemarnya.
Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di
balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi,
memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.
Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. ** DALAM
ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang
kekuasaan, yakni "manunggaling kawula-Gusti" (kesatuan hamba-Raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus
memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi
kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan
kepentingan objek hukum.
Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu
berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan
dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu
bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.
Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang
terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan
rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus,
tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati
para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi
kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan
kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di
bawah.
Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat
tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat
penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar matanya selalu
berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya
sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya
sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego Semar itu telah
lenyap, digantikan oleh "yang lain".
Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling
tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling
bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih
tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang, sehingga
kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar mencegah
anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan apa pun
yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah
Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.
Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi
"turun". Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis
paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas
singgasananya yang terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang
dipimpinnya. Seorang pemimin tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat,
tetapi menangisi rakyat yang dihujat bawahanbawahannya. Seorang pemimpin tidak
marah dimarahi rakyatnya, tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.
Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah
sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi
tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang
benar dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks
kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran
Dewa.
Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan,
yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai raja)
agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat rakyat yang
dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya seorang enterpreneur
juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa Keadilan berseberangan
dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan,
tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk
memelihara kehidupan.
Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut
(air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh
pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut
berseberangan dengan watak Dewa Angin.
Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan
dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang
mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata tersebut,
dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika kekuasaan itu ada
dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.
Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas,
tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi
memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil,
ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah.
Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki,
kombinasi ketegasan dan kelembutan
3. WUS PINASTI KANG
MURBENG DUMADI
SANG TUNJUNG SETA KINARYA DHUTA
JUMENENG PARANPARANE
N G A D I L I N U S A N I P U N
NGASTHA DARMANING UMUM’
KALIS ING MAYANE NDOYA
WUS WINELEG MUKTI WIBAWANING DIRI
ING KETANGGA SILUMAN
4. SATRU MUNGSUH
SAMYA HANGEMASI
TUMPES TAPIS KATAMAN PRABAWA
KASEKTEN SABDA CIPTANE
NGGEGIRISI BALANIPUN
WUJUD KALABANG KALAJENGKING
S I R U L L A H A J I N I P U N
P R A J U R I T L E L E M B U T
IKU KANG WEKAS INGWANG
SIRA NDEREK ANGEMONG ING TEMBE WURI
SANG NATA BINATHARA
5. WONG CILIK SAMYA
SUKA ING ATI
GUMUYU MURAH SANDHANG LAN TEDHA
GUYUB RUKUN SESAMANE
SAMYA MADHEP SUMUJUD
NGARSENG HYANG WIDHI LAN NJENG GHUSTI
W E D I W E W A L A T I R A
WINGITING SANG RATU
MANANGKA JAMAN KENCANA
KAKANG SEMAR GYA TINDAKNA WELING MAMI
NGIRIDTA GUNG LELEMBUT
6. MANANGKA WELINGE
SANG AJI
SRI JAYABAYA NATA BINATHARA
MRING SANG PAMONG KALIHE
KAKANG SEMAR UMATUR
PUKULUN JAYABAYA AJI
PUN KAKANG WUS ANAMPA
KABEH SABDANIPUN
DADYA PASEKSENING JANGKA
MANGEJA WANTAHIRA PADUKA AJI
SANG NATA BINATHAR
7. JUMENENGIRA
GUSTHI PRIBADI
LAMUN JANGKANING NUSA TUMEKA
NORA ENDHAS LAN BUNTUTE
PUN KAKANG WUS SUMAGGUH
NGEMONG SANG TUNJUNG SETA AJI
LAN NGIRID BYANTOKNA
S A G U N G I N G L E L E M B U T
SINEGEG WAWAN SABDANYA
SRI JAYABAYA LAN PAMONGNYA KEKALIH
MECA JANGKANING NUSA
![]() |
D E W A R U C I
Cerita Ajaran Dewa Ruci tentang Arya Wrekudara / Arya sena/Bima
ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air
penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang)
oleh Pujangga Surakarta, Yosodipuro berjudul: "Serat Dewaruci
Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan
sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari kisahnya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri
Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang
sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan
guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran:
bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian
badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari
air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya
dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya,
dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya
ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika
ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai
kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia,
berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa
letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung
Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan
prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua
tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua
raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara
merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang
dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka
dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun
walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa
terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian
.......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah,
ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena
mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih
hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena
kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud
: "Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak
menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda
yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena
sudah pasrah..... suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang
Hyang Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa
yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu
dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar
kembali ke Astina.Perintah inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi
Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya
Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya,
terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang
perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji,
sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana
juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat
untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke
Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui
tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan
jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena,
yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan
Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak
disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian
air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan
semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk
hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak
bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan
kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan
datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk
sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang
sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera.
Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang
sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada
Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam
samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi
laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala
mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu
Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di
laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring
tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan
bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak
kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap
di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut
bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada
prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal
dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan
kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan
berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para
saudaranya tidak perlu sedih dan cemas
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera,
ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di
atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa
kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang
dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering
yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula
:"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak
mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi.
Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang
benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang
Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun
keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki
keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu,
Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah
Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air
Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang
kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut
Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan : "Jangan pergi bila belum
jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah
berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu”. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam
hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi
kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham,
akan tempat yang harus disembah".
Wrekudara
masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan.
" Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam
tubuhku ", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini
bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun
tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar
mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera
dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya
melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu
mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan
sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa
hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang
pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu,
sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati,
disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat
sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu
jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu,
sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang
menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati,
menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya
suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang
tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga
hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi,
persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci,
itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan
tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya
terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini,
dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak
ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut
makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari
tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui
rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma
ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana
Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan
bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah
mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu
kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan
tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak
dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan
kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan
pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak
gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya,
layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan
diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika
ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu
tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan,
agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah
laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu
juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan,
semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala
janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan
dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati
di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu
juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada
nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya
terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena
ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua
sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak
bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira
hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari
mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang
tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak
berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun
akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian
seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai
kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru,
mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata.
Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan
gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi
ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari
pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi
keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang
dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan
yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam
yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang
tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang,
disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik
layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus
mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu,
ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia,
yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali
ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden
Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling
hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi
dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad
raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu,
seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang
berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan
kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat
ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya
itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu
sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata
:"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi
ini".
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa
menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang
jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh
Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari.
Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi
Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci
itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra
artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran
untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau
mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat
diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum
melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya
dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus
pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki
gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang
tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang
mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain
melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita
wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi
ketempat suci melalui cahaya suci.
Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam
pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima
berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya
berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari
kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan
yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan
seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang
ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan
kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya
yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa
Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi
sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke
samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang
baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan
memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari
kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini
menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati,
tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus
juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya.
Untuk itu
dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri
kepada orang lain.
2. Legawa
: harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat
kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak
kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti
untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk
menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak
atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada
kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua
pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi
kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi:
dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan
tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah
haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah
mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak
boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan
pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu
dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima
memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam,
Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil
tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur
pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi
Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya
terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah
menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang
terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai
kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam
hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan
kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi
kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah
mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan
kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah
tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam
paningal.
Batik poleng :
Kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih.
Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini
menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada
laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima
melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan
tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan
:
1. Dia
telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari
persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral
baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka
menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
PRANATA
MANGSA
( aturan waktu musim kuno )
Pranata Mangsa atau aturan waktu musim biasanya digunakan
oleh para petani pedesaan, yang didasarkan pada gejala naluriah alam dan
mencoba memahami asal-usul dan bagaimana uraian satu-satu kejadian cuaca
di dalam setahun. Petani di Jawa dahulu masih memakai patokan untuk
mengolah pertanian dengan prantan ini. Uraian mengenai Pranata Mangsa ini
diambil dari buku sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium
Radya-Pustaka.
Yang menurut riwayatnya, sebetulnya baru mulai dikenalkan
pada tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII, yang
memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen yang baik dalam
bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1856, dengan urut-urutan :
1.
Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami
yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis
belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir
sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
2.
Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai
tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang.
Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak).
3.
Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya
lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen,
berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing
Bapa (lanjaran).
4.
Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada
(jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk
ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai
bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber).
5.
Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan,
selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah,
mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai
keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing
jagad.
6.
Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai
menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian,
rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di
tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang
banyak-banyaknya buah-buahan).
7.
Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai
ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir.
Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin,
itu masanya banyak penyakit).
8.
Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali
27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah
jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin).
9.
Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang
dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin,
cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya (
binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
10.
Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning,
mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya.
Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).
11.
Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memane n
padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan).
12.
Saya, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai
menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami.
Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan)
(air pergi dari sumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat,
sebab sangat dingin).
Demikian uraian singkat tentang Pranata Mangsa, yang jika dikaitkan dengan
kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus diselaraskan secara
ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi pengindraan satelit cuaca, dan
sebagainya.
WUKU
dan KELAHIRAN
Tiap-tiap wuku mempunyai watak sendiri-sendiri. Watak wuku dapat
dipergunakan untuk mengetahui dasar watak bayi lahir :
1. Sinta..dewanya sangyang Yamadipati = wataknya seperti raja dan
pendita, banyak kemauan, keras, cepat bahagia, bakat kaya harta benda.
Memanggul tunggul = mudah mendapatkan kesenangan hidup. Kaki belakang direndam
dalam air = perintahnya panas didepan dingin belakang. Pohonnya : Kendayakan =
jadi pelindung orang susah, dan orang minggat.
Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya didepan =
memperlihatkan simbul kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : Berada di
pertengahan umur. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah
dikukus, lauknya daging kerbau seharga 21 keteng dimasak pindang, membelinya
tidak menawar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Tolak bilahi. Candranya : Endra =
gemar bertapa brata, angkuh, suka kepada kepanditan. Ketika kala wuku berada
ditimu laut, selama 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
2. Landep.dewanya sangyang Mahadewa = bagus rupanya,
terang hatinya, gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air = perintahnya
keras didepan dingin dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendajakan = jadi
pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya :
Atatkembang = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi kesayangan.
Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.
Bahayannya : korobohan pohon. Tangkalnya : Selamatan tumpeng beras sepitrah
dikukus. Lauknya daging rusa dicacah lalu dibakar. Selawatnya 4 keteng. Doanya
: Kabul. Candranya : Surating raditya = tajam ingatannya, dapat mengerjakan
segala pekerjaan, dapat menggrirangkan hati orang lain.
3. Wukir.dewanya sangyang Mahayekti = besar hatinya,
menghendaki lebih dari sesama. Tunggalnya : didepan = akhirnya hidup senang.
Menghadapi air di jembung besar = baik budi pekertinya. Pohonnya : Nagasari =
bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh majikannya. Burungnya :
Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat mengerjakan segala pekerjaan.
Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya :
dianiaya.
Penangkalnya : selamatan nasi uli, beras sepritah dikukus, daging ayam ayam
putih dimasak pakai santan dan sayur lima macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya
rajukna. Candranya : Gunung artinya jika didekati sulit dan berbahaya jika
dilihat dari jauh menyedapkan pemandangan. Ketika kolo wuku berada ditenggara,
dalam 7 hari tidak boleh mendatangi tempat kolo.
4. Kurantil.dewanya sangyang Langsur =
pemarah. Memanggul tunggal = akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam
jimbung besar disebelah kiri = serong hatinya. Pohonnya : Ingas = tak dapat
untuk berlindung, karena panas. Burungnya : Salinditan = tangkas. Gedungnya
terbalik didepan = murah hati. Bahayanya : jatuh memanjat.
Penangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya daging
ayam lereng dipecal. Selawatnya 7 keteng. Doanya : rajukna dan pina. Candranya
: Woh-wohan = tak tentu rejekinya.Ketika kolo wuku berada dibawah, dalam 7 hari
tak boleh turun dari gunung dan tak boleh menggali tanah.
5. Tolu.dapat menyenangkan hati orang lain, kalau
marah berbahaya, tak dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya
terdapat dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya = sangat indah rupanya, tajam
roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian, selamat
hatinya. Burungnya : Branjangan = riang tangan, cepat bekerjanya. Gedungnya
didepan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya =
ditanduk atau disiung.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknya daging
ayam dimasak dengan santan. Selawatnya 3 keteng. Doanya : Kabul. Candranya :
Wangkawa = angkuh, tidak tetap, suka bohong.Ketika kolo wuku berada
dibarat-laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
6. Gumbreg.dewanya sangyang cakra = keras budinya, segala yang
dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kakai sebelah yang
didepan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas dibelakang.
Pohonnya : beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya tinggi. Burungnya :
ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka tinggal ditempat sunyi.
Gedungnya dikirikan = penyayang, jika marah taka sayang kepada harta bendanya.
Bahayanya : tenggelam atau kejatuhan dalam. Tangkalnya : selametan nasi
pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam berumbun yang masih muda dan
daun-daun 9 macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Rajukna. Candranya : Geter
nekger ing wijati = hening pikirannya, perkataannya nyata redhoan.Ketika “kala
wuku” berada di Selatan menghadap utara, dalam 7 hari tidak boleh memandang
wajah kala.
7. Warigalit, dewanya sangyang
asmara = bagus rupanya,senang asmara, cemburuan, hatinya mudah tersentuh,
Pohonnya : sulastri = bagus rupanya, banyak yang cinta. Burungnya : kepodong –
cemburuan, tak suka berkumpul dengan orang banyak. Bahayanya : tersangkut suatu
perkara.
Tangkalnya : selametan nasi urap beras sepitrah dikukus, lauknya daging
kerbau ranjapan (pembelian bersama-sama), dimasak getjok. Selawatnya 8 keteng.
Doanya : tolak bilahi. Candranya : kaju kemladean ngajak sempal = dimana-mana
dapat tumbuh. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh
mendatangani tempat kala
8. Warigagung, dewanya sanghyang mahajekti =
berat tanggungannya, berkeinginan. Tunggulnya : dibelakang – rejekinya
dibelakang hari. Pohonnya : cemara = rame bicaranya, lemah lembut perintahnya
dan dihormati. Burungnya : betet = keras kemauannya, pandai mencari kehidupan.
Gedungnya dua buah dibelakang dan didepan = ichlasnya hanya setengah.
Bahayanya : dimarahi temannya.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk bers sepitrah dikukus, lauknya daging
bebek dimasak gurih dan daun-daunan 5 macam. Selawatnya 5 keteng. Doanya :
rasul. Candranya : Ketug lindu = menepati perkataannya, jika marah menakutkan,
tidak mau menerima takdir. Ketika “kala wuku” berada di utara menghadap ke
selatan, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.
9. Julungwangi, dewanya sanghyang
sambu = tinggi perasaannya, tidak boleh disamai. Mengahadap air dijembung =
pradah ikhlasan, akan tetapi harus diperlihatkan harum = dicintai oleh orang
banyak. Burungnya kutilang = banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang,
dicintai para pembesar.
Bahayanya : diterkam harimau. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras
sepitrah dikukus, lauknya daging ayam brumbun dan uang suwang (+/- 81 ½ sen).
Selawatnya : kucing. Doanya Tolak bilahi. Candranya : kasturi arum angambar =
segala kehendaknya belum terjadi telah tersiar banyak yang cinta.
10 Sungsang, dewanya sanghyang gana =
pemaranh, gelap hati. Air dijebung didepannya +/- pradah, ikhlasan, harus
diperlihatkan pemberiannya, banyak rejekinya. Pohonnya : tanganan = tak suka
menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : nori =
pemboros, jauh kebahagiaannya, murka. Gedungnya terbalik dibelakang = ikhlasan
dengan tidak pakai perhitungan.
Bahayanya : kena besi. Tangkalnya : selamatan nasi megana dan tumpeng betas
2 pitrah, daun-daunan 9 macam dicampur dalam tumpeng. Selawatnya 10 keteng.
Doanya : Kabul. Candranya : sekar wora-wari bang = besar amarahnya, tetapi
mudah dicegah. Ketika “kala wuku” berada di timur dalam 7 hari tidak boleh
mendatangani tempat kala.
11.
Galungan, dewanya sangyang Komajaya = teguh hatinya,
dapat melegakan hati orang susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada
perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor =suka bersedekah, pengasih, namun
sedikit rejekinya. Pohonnya : Tanganan = ringan tangan, keras budinya,
gampang suka pada kepunyaan orang lain. Burungnya : Bido = besar nafsunya,
murka.
Bahayanya :
berselisih.Penangkalnya : selamatan nasi beras sepitrah dikukus, lauknya daging
kambing. Doanya : Selamat pina. Candranya : peksi wonten ing luhur = jika
mencari hasil dengan menundukkan kepala, sebab gora-goda. Ketika kolo wuku
berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
12.Kuningan, dewanya sangyang Indra =
melebihi sesama, tinggi derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = rupanya sangat
indah, sangat puaka, tinggi budinya dan teliti, menghindari keramaian, selamat
hatinya. Burungnya : Urang-urangan = cepat bekerjanya, lekas marah,
pemalu.
Gedungnya dibelakang, jendelanya tertutup = hemat. Bahayanya =
diamuk..Penangkalnya : selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging
kerbau membelinya beramai-ramai, digoreng. Selawatnya 11 keteng. Doanya :
Kabul. Candranya : Garojogan = rame bicaranya, banyak bohong.Ketika kolo wuku
berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala
13. Langkir, dewanya sangyang Kala
menggigit bahunya sendiri = besar nafsunya, tidak sayang kepada badannya
sendiri, yang melihat takut, buruk adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka,
banyak larangan. Pohonnya : Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh
didekati orang,
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknyadaging
kambing dan ikan dimasak pakai santan, sayuran secukupnya. Selawatnya 5 keteng.
Doanya : Slametpina. Candranya : Redi gumaludug = bicaranya menakutkan, tetapi
tidak mengapa.Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh
mendatangi tempat kala.
14. Mandasia,dewanya sangyang Brama, kuat
budinya, pemaran, tak mau memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan.
Pohonnya : Asam = kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara.
Burungnya : Platukbawang = kuat budinya, cepat pekerjaannya, tidak sabaran.
Gedungnya terguling didepan = hemat dan banyak rejekinya. Bahayanya : Kena api
dan dijahili orang.
Penangkalnya : selamatan nasi merah beras sepitrah dikukus, sayur bayam
merah, daging ayam merah dipindang dan bunga setaman yang merah. Selawatnya
uang baru 40 keteng. Doanya : Slamat. Candranya : Watu item munggeng papreman
lan wreksa gung lebet tancepnya = sabar, tetapi jika marah kejam.Ketika kolo
wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
15. Djulungpujut, dewanya sangyang
guretno, = suka kepada keramaian, tersiar baik, mempunyai kedudukan yang
lumayan. Menghendaki bukit = besar kemaunnya, tak suka diatasi, menghendaki
memerintah. Pohonnya : Rembuknya = indah warnanya, tidak berbau, dimana-mana
jadi kunjungan orang.
Burung :
Prijohan = besar kemauannya, halus budinya. Bahayanya : diteluhPenangkalnya :
selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, daging ayam merah dipanggang, daun-
daunan 9 macam. Selawatnya 30 keteng. Doanya : Balasrewu dan Kunut. Candranya :
Palwa ing samodra = kesana-kemari mencari nafkah, rejekinya tidak kurang.Ketika
kolo wuku, berada di utara dan selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi
tempat kala.
16. Pahang, dewanya sangyang tantra =
perkataannya melebihi sesama, tidak sabaran menepati janji. Jembungnya
disebelah kiri dibelakangnya = suka jalan serong. Memanggul senjata tajam =
waspada, kasar perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonya : Kendayaan =
jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cocak =
gelatak bicaranya. Gedung telentang = boros.
Bahayanya : dianiaya.Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah,
lauknya daging ayam dimasak sansan, daun-daunan 11 macem. Selawatnya 9 keteng.
Doanya : Rasul.Candranya : Pulo katinggal saking tebih = tersiar semua tingkah
lakunya, lahirnya suci, batinnya kotor, angkuh, selalu susah.Ketika kolo wuku
berada di Barat-Laut dalam 7 hari tak boleh mengunjungi tempat kala.
17. Kuruwelut, dewanya sanhyang wisnu :
tajam ciptanya, tinggi dan selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul :
cakra = tajam hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan
besar kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah, akhirnya
menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan yang remeh.
Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, puaka tak dapat dipermudah.
Bahayanya : kena racun daun. Tangkalnya : selamatan bermacam-macam sayuran,
jajan pasar, sekar boreh, tindihnya uang lama sebaranDoanya : tawil. Candranya
: tirta wening = sedikit bicaranya, suci hatinya, diturut perintahnya, jadi
tempat pengungsian. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh
mendatangitempat kala.
18. Mrakeh, dewanya sangsyang surenggana
= tawakal hatinya, agak ingatan, berkesanggupan, berani kepada kesulitan.
Tunggulnya membalik = lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak
berguna. Tak mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya.
Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian. Bahayanya : tenggelam.
Tangkalnya
: selamatan nasi uduk, daging ayam mulus dimasak dengan santan dan
bermacam-macam ketan. Selawatnya 100 keteng.Doanya : tolak bilahi. Candranya :
pandam ageng amerapit = tawakal, mempunyai hati kasihan kepada orang miskin.
Ketika “kala wuku” berada di utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat
kala.
19. Tambir, dewanya sanghyang siwa =
lahir dan batinnya terkadang berlainan. Pohonnya : Upas = bukan tempat
perlindungan, tajam perkataannya. Burungnya : prenjak = tahu petunjuk gaib,
suka membuat perkabaran yang mengherankan, . Gedongnya ditengah = tinggi
percaya dirinya Bahayanya : terkena pasangan. Tangkalnya : selamatan nasi
pulen beras sepitrah diliwet, lauknya daging bebek dan ayam dipindang, kuah
merah dan putih dan ketimun 25 buah.
Selawatnya : pisau baja dan jarum satu. Doanya : slamet dina. Candranya :
idune lir upas ratjun = dihargai semua perkataannya. Ketika “kala wuku” berada
di barat daya, dalam 7 hari tidak boleh mengunjungi tempat kala.
20. Madangkungan, dewanya sanghyang
basuki : ahli bicara, tawakal, tetap hatinya. Pohonnya : plasa = hanya jadi
perhiasan hutan, tidak ada gunanya. Burungnya : pelug = suka tinggal di air,
suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya,
tawakal, hemat. Bahayanya : dibunuh pada waktu malam. Tangkalnya
Selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam kuning
(wiring kuning) dan berumbun, digoreng, jenang merah pada waktu hari kelahirannya.
Selawatnya : 5 keteng. Doanya : ngumur. Candranya : umajang kang tetabuhan =
menepati perkataan, dan dapat menyenangkan hati orang lain. Ketika “kaa wuku”
berada di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala
21. Maktal, dewanya sanghyang sakri =
lurus hatinya, baik pekerjaannya. Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah
lembut tutur katanya, dicintai oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = liar dan
tinggi budinya, banyak tanda-tandanya akan mendapat bahagia, suka tinggal
ditempat sunyi. Gedungnya ditumpangi tunggal = kaya benda dan dihormati.
Bahayanya = bertikai.
Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam dan bebek dimasak 2 macam,
dipindang dan dimasak dengan santan, niatnya : ngrasul. Selawatnya 4 keteng.
Doanya : rasul. Candranya : lesus awor lan pancawara = lebar pemandangannya,
dalam pikirannya. Ketika “kala wuku” berada di timur laut, dalam 7 hari tak
boleh mendatangi kala
22. Wuje, dewanya betara kuwera =
menggirangkan hati orang lain, perkataannya lurus dan mengherankan, singkat hati,
tetapi sebentar baik. Memasang keris terhunus disebelah kaki = waspada dan
tajam hatinya. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya,
kuat dan tetap hatinya. Burungnya : gogik = cemburuan, tak suka kepada
keramaian. Gedungnya terlentang didepan = pengasih.
Bahayanya : diteluh. Tangkalnya : selamatan jajan pasar secukupnya dan
bermacam-macam ketan seharga sataksawe (+/- 10 sen). Yang dibeli dahulu madu
untuk selanunggal rum arum = peteng hati, sukar dijalani, suka kepada bau
harum, besar kehendaknya. Ketika “kala wuku “ berada di barat, dalam 7 hari tak
boleh mendatangi tempat kala.
23. Manahil, dewanya sangyang Citragatra
= menjunjung diri sendiri, dapat berkumpul ditempat ramai, bakat angkuh, selalu
bersedia-sedia untuk membela diri. Air dijembung dibelakangnya = Arum
perintahnya, akan tetapi tak mempunyai pangkat. Memangku tombak terhunus =
waspada dan tajam hatinya.
Pohonnya : Tageron = sedikit faedahnya, liat hatinya. Burungnya : Sepahan =
liar budinya, tajam pikirannya. Bahayannya : terkena senjata tajam.Penangkalnya
: selamatan nasi liwet beras sepitrah, lauknya daging ayam dan ikan, sayuran
secukupnya, sambal gepeng. Selawatnya 8 keteng. Doanya : Selamat tolak bilahi.
Candranya : Trenggana abra ing wijit = sabar segala kemauannya, tak suka
menganggur, banyak kemauannya.Ketika kala wuku berapa di Tenggara, dalam 7 hari
tak boleh mendatangi tempat kala.
24. Prangbakat, dewanya sangyang Bisma =
pemarah, tangkas, pemalu, memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi
pemimpin orang, lurus pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya.
Kakinya kanan direndam dalam air jembung = perintahnya dingin didepan panas
dibelakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, tetap
pikiranya.
Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya. Bahayanya : memanjat atu karena
tingkahnya sendiri. Tangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah, lauknya
daging sapi, dimasak bumbu manis, sayuran secukupnya. Selawatnya : pacul.
Doanya : aelamat pina. Candranya : wesi trate pulasani = keras hatinya, cepat
kerjanya, pemberi, jujur, belas kasihan. Ketika “kala wuku” berada dibawah,
dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan menggali tanah.
25. Bala, dewanya batari Durga = suka berbuat
huru-hara,membuat berita, jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak ada yang
ditakuti, pandai sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya,
lemah lembut perintahnya dan dihormati.
Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar, tinggi
budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat yang
sunyi. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah dilahir.
Bahayanya : diteluh dan kena upas.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras
sepitrah dikukus, sayur 7 macam, panggang ayam hitam. Selawatnya 40 keteng.
Doanya : Rajukna : Udan salah mangsa = rejekinya dari jual beli.Ketika kala
wuku berada di Barat-Laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
26. Wugu, dewanya sangyang Singajala = banyak akal,
lekas mengerti, baik budinya. Pohonya : Wuni sedang berbuah = siapa yang
melihat bagaikan mengidam, akan tetapi jika telah makan, sering mencela, banyak
rejekinya. Burungnya : Podang = cemburuan, tidak suka berkumpul. Gedungnya
tertutup dibelakang = hemat dan pendia. Bahayanya : digigit ular dan
disia-sia.
Penangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus dan
bermacam-macam ketan, jajan pasar, lauknya daging bebek putih sejodoh dimasak
dengan santan. Selawatnya 10 keteng. Doanya: Selamat. Candranya : awang-uwung =
baik budinya.Ketika kala wuku berada di sebelah Selatan, dalam 7 hari tak boleh
mendatangi tempat kala.
27. Wayang, dewanya batari Sri = banyak
rejekinya, pradah, bakti, teliti, dingin perintahnya dicintai oleh orang
banyak. Jembung berisi air didepan dan duduk disitu = sejuk hatinya, sabar,
rela hati, akan tetapi harus diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus
= perintahnya mudah didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai
oleh orang banyak
Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya, berbakat
angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi. Bahayanya : kenah tulah dan
difitnah.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, daging
kambing kendit dimasak macam-macam ketan, ayam dimasak sesukanya, sayuran
secukupnya. Selawatnya 40 keteng. Doanya : selamat. Candranya : damar murub,
bumi langit = selamat, banyak ilmunya.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7
hari tak boleh naik.
28. Kulawu, dewanya sangyang Sadana =
kuat budinya, besar harapannya. Duduk dijembung berisi air ditepi kolam = sejuk
hatinya, dingin perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat
dibelakang, kurang pandai. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar harapannya,
kuat budinya.
Burungnya : Nori, boros, murka. Gedungnya didepan = memperlihatkan
kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : terkena bisa. Penangkalnya :
selamatannasi golong beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dan bebek yang
berwarna merah, ikan dan daging burung, dimasak sekehendahnya. Selawatnya 5
keteng. Doanya : Kabula. Candranya : Bun tumetes ing sendang = ketika kecil
miskin, akhirnya besar kebahagiannya, banyak rejekinya.Ketika kala wuku berada
di Utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
29. Dukut, dewanya sangyang Sakri = keras hatinya. Menghadapi
keris terhunus = waspada, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya berhasrat
dipunyainya. Pohonnya : Pandan wangi = kiri tempatnya, dengki, tak boleh
didekati. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan tinggi
budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi.
Membelakangi gedungnya = hemat dan pendiam. Bahayanya : dimedan
perang.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya
panggang ayam putih mulus dan ayam brumbun. Selawatnya satakswawe. Doanya :
Slamet. Candranya : tunggul asri sesengkeraning nata = bagus rupanya,
penakut.Ketika kala wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi
tempat kala.
30. Watugunung, dewanya sangyang Antaboga
dan batari Nagagini. Antaboga = senang tinggal alam untuk bertapa. Nagagini =
gemar kepada asamara. Menghendaki janji = suka bertapa ditempat yang sunyi,
jika menjadi pendita, mendapat kehormatan, gemar bersemedi, sering bersedih
hati. Pohonnya : Wijayakusuma = rupawan, tinggi budinya, tidak suka pada keramaian,
terlihat angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburuan. Bilahinya :
teraniaya.


Memayu hayuning buwana
Amung sami adremi nengga
Sabda Gusti hing wasana
Nemahi jaman buwana yudha
Ilanging bumi sakabehe
Nuli ganti alam lestari
Ojo nganti padha rugi
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang
dahsyat),
dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang
dikandung)nya,
dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi
begini)?",
pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang
demikian itu) kepadanya
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan
yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada
mereka (balasan) pekerjaan mereka.
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
( QS. Al Zalzalah )
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau